@article{ulya_2015, title={ŪLŪ AL-‘AMR PERSPEKTIF HAMKA DAN NEGARA BERDASARKAN ISLAM DI INDONESIA}, volume={1}, url={https://jurnalnun.aiat.or.id/index.php/nun/article/view/12}, DOI={10.32495/nun.v1i1.12}, abstractNote={<p class="Default"> </p><p class="Pa31"> Manusia hidup membutuhkan pedoman. Pedoman hidup bagi umat muslim adalah Alquran, kitab suci yang berbentuk teks dan berbahasa Arab. Agar Alquran bisa memberikan pedoman maka harus membacanya. Membaca dalam arti menafsirkannya dengan tujuan untuk mendapatkan makna. Upaya untuk mendapatkan makna ini menuntut peran aktif pembaca, dalam hal ini adalah penafsir. Imam Ali pernah mengatakan bahwa <em>al-Qur’ān baina daftayī al-mu</em><em>ṣḥ</em><em>afi lā yan</em><em>ṭ</em><em>iqu wa innamā yatakallamu bihi ar-Rijāl. </em>Tanpa manusia, Alquran selamanya akan bungkam, tak bersuara. Alquran butuh agen manusia yang menyuarakannya.</p><p class="Pa31">Tatkala penafsir menafsirkan alquran tidaklah bisa terlepas dari konteks yang melingkupinya, ideologi, tujuan yang ingin dicapai, masalah yang sedang dihadapi, dan seterusnya. Pendekatan posmodernisme menyatakan tidak ada fakta yang telanjang. Semua serba dikonstruksi dan representasional. Dalam konteks inilah, penulis mengasumsikan bahwa tafsir juga hasil konstruksi dari penafsirnya, merepresentasikan ideologinya, kepentingannya, sudut pandangnya, dan lain-lain.  Demikian pula tatkala dibaca tafsir <em>ūlū al-amr </em>Q.S. an-Nisā’ [4]: 59 versi Hamka yang telah terdokumentasikan dalam karya tafsirnya, <em>Tafsir al-Azhar</em>, sebuah tafsir yang telah ditulisnya untuk Indonesia di rentang tahun 1958-1966, yakni di era konstituante dan Demokrasi Terpimpin. Di tengah rentang tahun ini, Hamka mengintroduksi <em>ūlū al-amr </em>sebagai orang-orang yang berkuasa atau penguasa atau pemimpin. Penguasa atau pemimpin harus <em>minkum </em>atau <em>insider, </em>artinya berada dalam satu group dengan yang komunitas yang memilihnya. Jika kata <em>minkum </em>dikembalikan pada siapa yang diajak komunikasi, maka <em>ūlū al-amr </em>seharusnya seagama dan seiman. Mengingat <em>setting </em>penyusunan tafsir itu di tengah sidang konstituante yang memperdebatkan dasar negara, Islam <em>vs </em>Pancasila, maka dengan melalui situs tafsirnya, Hamka berkepentingan untuk mengarahkan dan menggiring agar umat muslim memilih pemimpin yang islami, yang mendukung usulan negara berdasarkan Islam .</p>}, number={1}, journal={Nun: Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara}, author={ulya, Ulya}, year={2015}, month={Dec.} }